Warga Desa Kohod Akui Kaget Namanya Dicatut Soal SHM di Laut Tangerang: Apalagi Saya Dibilang Udah Mati
SHM Warga Desa Kohod, Kabupaten Tangerang (ist)

Bagikan:

TANGERANG - Seorang warga Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Nasrudin memgaku kaget dengan data dirinya yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) di Laut Tangerang. Padahal dirinya sama sekali tidak memiliki lahan sedikitpun di Lautan di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Ia menduga orang yang melakukan tindakan pencatutan ini adalah oknum aparat kantor desa. Mereka mengambil data e-KTP miliknya melalui anaknya.

Dokumen SHM atas namanya tertulis sebagai pemilik lahan seluas 1,4 hektare di laut perairan Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.

Diketahui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengakui adanya penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan SHM di kawasan pagar laut tersebut.

Menurut Nusron, terdapat 263 bidang. "Kalau di laut dan darat pun saya enggak punya, apalagi itu di laut. Itu laut kan laut negara. Tapi tiba-tiba ada penerbitan sertifikat," kata Nusrullah, Selasa, 28 Januari.

Terlebih dalam pencatutan nama itu, kata Nusrullah, disebut bahwa dirinya telah meninggal dunia. Lantaran dokumen agraria tersebut juga terdapat keterangan waris.

"Apalagi saya di bliang sudah mati, dan lahan dialah wariskan ke anak saya," terang Nusrullah.

Sebelumnya, warga Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, mengungkapkan bahwa Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka dipinjam oleh oknum aparat desa tanpa pemberitahuan jelas.

Pinjaman tersebut ternyata berujung pada penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah di kawasan laut Kabupaten Tangerang.

"Dia (oknum) meminjam KTP kami tanpa penjelasan. Tahu-tahu, tanahnya sudah ada sertifikat," ujar Haerudin, salah satu warga Desa Kohod, saat ditemui di lokasi, Selasa, 28 Januari.

Haerudin menambahkan bahwa dalam proses penerbitan SHM tersebut, warga tidak pernah diajak musyawarah atau diberikan informasi sebelumnya.

"Kami tidak diajak kompromi atau musyawarah sama sekali. Mereka bertindak begitu saja tanpa persetujuan masyarakat," tegasnya.

Ia juga mengeluhkan adanya pengukuran tanah oleh pihak terkait, yang disebut-sebut untuk pelebaran bantaran kali, namun kenyataannya justru diuruk oleh pihak pengembang.

"Dari bantaran kali, mereka mengambil sepuluh meter kiri-kanan, katanya untuk pelebaran sungai. Tapi sekarang malah diuruk oleh pengembang, kali kami jadi menyempit," jelas Haerudin.

Haerudin menduga proyek ini melibatkan pengembang besar, yaitu Agung Sedayu Group, namun menggunakan perusahaan lain sebagai pihak ketiga untuk memuluskan prosesnya.

"Nama Agung Sedayu dipakai sebagai intimidasi warga. Mereka memakai perusahaan di bawahnya untuk menjalankan proyek ini, sehingga kami merasa tidak punya daya untuk melawan," ujarnya.

Lebih lanjut, Haerudin menduga adanya keterlibatan Kepala Desa Kohod, Arsin, dalam penerbitan SHM tersebut. Pasalnya, saat kejadian, beberapa oknum staf desa hingga kepala desa terlihat memantau langsung proses pengukuran.

"Oknum kepala desa itu harus diusut tuntas. Jangan hanya dibatalkan sertifikatnya, tapi juga harus ada tindakan hukum terhadap dugaan korupsi yang terjadi," tegasnya.