JAKARTA - Publik mempertanyakan kejanggalan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pembahasan yang berlangsung kilat hingga ditetapkan menjadi RUU memicu banyak kritik. Salah satu yang disorot adalah minimnya partisipasi publik dan ketiadaan naskah akademik pada tahap awal pembahasan. Partisipasi masyarakat baru diadakan setelah menuai protes dari berbagai pihak.
Revisi UU Minerba mencakup penambahan klausul pemberian izin tambang untuk kampus, koperasi, dan UMKM. Publik mempertanyakan urgensi kebijakan ini, terutama soal alasan mengapa kampus diberikan izin tambang. Selain itu, banyak pihak melihat adanya kepentingan tertentu di balik proses ini.
Salah satu alasan revisi ini diduga berasal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37/PUU-XIX/2021, yang diajukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Namun, alasan ini dianggap sebagai dalih yang tidak berdasar untuk mempercepat revisi.
Proses revisi juga dinilai bermasalah. Naskah akademik baru disusun setelah pleno pengesahan, yang seharusnya menjadi dasar utama dalam perumusan undang-undang. Selain itu, proses legislasi dianggap minim transparansi dan partisipasi publik, sehingga memunculkan desakan agar revisi ini dibatalkan.
ICW menjadi salah satu pihak yang mendesak DPR menghentikan revisi ini. Menurut mereka, revisi UU Minerba disusun secara tergesa-gesa dan inkonstitusional karena melanggar prinsip partisipasi bermakna sebagaimana diatur dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
ICW juga menyoroti nuansa patronase politik dalam pemberian izin tambang melalui skema prioritas. Skema ini dianggap membuka peluang korupsi, termasuk suap kepada pejabat daerah atau kementerian yang berwenang. Dalam catatannya, ICW menyebut badan usaha seperti Ormas keagamaan, kampus, maupun perusahaan swasta dapat memanfaatkan skema ini untuk berdagang pengaruh demi memperoleh izin tambang.
Pemberian izin tambang kepada Ormas keagamaan dianggap sebagai bentuk penghargaan atas peran mereka selama pemerintahan sebelumnya. Namun, langkah ini memicu kritik, terutama terkait dampaknya terhadap prinsip keadilan dan lingkungan hidup.
Kritik terhadap Kampus dan UMKM di Sektor Tambang
Merah Johansyah dari Nugal Institute menilai, pemberian izin tambang kepada kampus adalah "sogokan" untuk menjinakkan kritik dari dunia akademik. Ia juga mempertanyakan dasar ilmiah dan akademis yang mendukung kebijakan ini, mengingat kampus bukan badan usaha dan tidak berorientasi pada bisnis. Menurutnya, kampus seharusnya hanya terlibat dalam konteks Tri Dharma Perguruan Tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian kepada masyarakat.
Selain itu, keterlibatan UMKM di sektor tambang justru dinilai merugikan. Keberadaan tambang berpotensi mematikan sektor usaha kecil lainnya, seperti ekowisata, dan merusak lingkungan. Merah menilai, revisi ini bertentangan dengan komitmen global Indonesia terhadap perlindungan lingkungan dan upaya penanganan perubahan iklim.
Penolakan Publik
Menurut kajian dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), revisi UU Minerba tidak memenuhi syarat formil. Direktur PUSHEP, Bisman Bhaktiar, menegaskan bahwa revisi ini tidak melalui perencanaan yang jelas dan bahkan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ia juga menyebut pemberian izin tambang kepada kampus dan UMKM sebagai "gimmick politik" untuk membagi-bagi izin tambang kepada pihak tertentu.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2024 menyatakan bahwa tidak ada masalah konstitusionalitas terkait pengaturan Ormas dalam mendapatkan lokasi tambang. Dengan demikian, alasan revisi menjadi semakin dipertanyakan.
Bisman menambahkan, pemberian izin lokasi tambang kepada kampus dan UMKM tidak sejalan dengan aturan yang berlaku. Kampus bukan badan usaha dan tidak boleh berorientasi pada bisnis, sehingga hanya dapat terlibat dalam riset dan pengabdian masyarakat. Ia menilai, tujuan utama revisi ini adalah membuka jalan bagi pembagian izin tambang kepada pihak-pihak tertentu yang memiliki kedekatan politik dengan pemerintah.