JAKARTA - Tiada yang meragukan kepadatan Jakarta. Ruang untuk membangun sebuah kawasan terbatas. Kondisi itu membuat pengembang putar otak. Mereka mencoba opsi reklamasi pesisir utara Jakarta demi tambah lahan dan uang. Reklamasi Ancol jadi contoh keberhasilan.
Keinginan hadirkan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan 17 Pulau Reklamasi di Teluk Jakarta muncul. Namun, proyek itu dianggap berbahaya. Reklamasi dapat mengganggu ekosistem pesisir. Penolakan muncul di mana-aman. Mereka yang pernah menolak antara lain: Emil Salim dan Rizal Ramli.
Opsi reklamasi untuk meluaskan lahan bukan barang baru. Pemerintah DKI Jakarta pernah mencobanya dalam proyek Ancol era 1970-an. Empunya kuasa mencoba mengubah rawa-rawa di pesisir utara kemudian direklamasi jadi kawasan hiburan Ancol.
Contoh sukses pembangunan jadi hiasan megah ingatan para pelaku bisnis di Jakarta. Mereka yang tadinya pasrah berbisnis properti di Jakarta jadi kian menyala. Semangat itu dihadirkan PT Mandara Permai yang dikuasai oleh perusahaan milik pengusaha Ciputra, Metropolitan Development.
Mandara Permai pun mendapatkan izin membangun kawasan elite di pesisir utara Jakarta pada 1984. PIK, namanya. Pembangunan PIK pun direncanakan akan berlangsung pada 1992. Namun, tak berjalan lancar.
Deru protes muncul satu demi satu. Pembangunan itu dicap bawa mudarat besar. Pebisnis untung. Namun, seisi Jakarta bak merugi. Pembangunan itu digadang-gadang akan merusak ekosistem pesisir utara Jakarta.
Kritikan muncul dari pejabat tinggi era Orde Baru, Emil Salim. Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup itu melayangkankan surat keberatannya kepada Pemerintah DKI Jakarta pada 1992.
Pemerintah DKI Jakarta dianggapnya abai dalam pemberian izin. Analisis dampak lingkungan (Amdal) tak pernah diperhatian. Emil menilai Mandara Permai hanya peduli pada bisnisnya saja. Persyaratan membangun danau dan hutan buatan tak dilakukan.
Artinya, urusan permasalahan lingkungan tak pernah jadi prioritas. Kekhawatiran Emil pun terbukti. Pembangunan PIK menganggu ekosistem pesisir.
“Yang sangat dirisaukan adalah kemungkinan tenggelamnya jalan tol Sedyatmo, yang menghubungkan Jakarta dengan Bandar Udara Soekarno-Hatta. Kini PIK kembali disorot, karena sejak akhir tahun lalu puluhan truk besar, tanpa henti, menderu-deru menyisir tepian cagar alam. Mereka membawa ribuan ton pasir, kemudian menumpahkannya ke proyek permukiman PIK, yang terletak di sebelah barat daya cagar alam tersebut.”
“Seirama dengan hiruk-pikuk di cagar alam, terjadi pula kegiatan yang tak kurang berisik di PIK. Dua kapal pengeruk jenis Hopper Suction Dredger, milik BUMN Departemen Perhubungan, secara bergantian menyuplai pasir ke sana. Menurut beberapa karyawan PIK, pasir itu diambil dari Tanjungkait dan Cituis, di Kepulauan Seribu. Untuk keperluan itu, sebuah pipa berdiameter 50 cm tak henti-hentinya menyedot pasir dari kapal dan kemudian menimbunnya di sebelah cagar alam,” ujar Bambang Aji dan Sri Wahyuni dalam Majalah Tempo berjudul Menelusuri Angke dan Reklamasi PIK (1994).
Moratorium Reklamasi
Emil Salim memang melemparkan kritik keras. Namun, proyek PIK 1 terus berjalan dan berhasil dikomersilkan pada 2004. Kondisi itu membuat permasalahan lingkungan yang jadi kritik mencuat satu demi satu – hutan bakau berkurang dan habitat hewan di pesisir hilang.
Masalah lain seputar reklamasi pesisir utara Jakarta pun sebenarnya bukan satu saja. Pemerintah Orba juga sempat punya hajat ingin mereklamasi lahan pesisir Jakarta lainnya pada 1995. Keinginan itu dikuatkan dengan surat Keputusan Presiden (Kepres) No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Belakangan rencana reklamasi tak terealisasi dengan baik. Pemerintah selanjutnya belum memandang penting urusan reklamasi. Namun, keinginan itu kian menyala pada era Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012. SBY pun memberikan mandat kepada Gubernur DKI Jakarta kala itu, Fauzi Bowo.
Desain reklamasi sedikit berbeda. Proyek yang awalnya penambahan lahan di pesisir belaka jadi ikut menyertakan pembangunan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta. Pulau yang ingin dibangun mencapai 17 pulau baru dengan nama Pulau A hingga Q.
Semangat pembangunan pun terjadi di era pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Gubernur DKI Jakarta era 2014-2017 itu menganggap proyek pulau reklamasi banyak manfaat bagi Jakarta. Bisa mencegah banjir pula. Namun, manfaat itu dianggap tak masuk akal oleh Rizal Ramli.
Menteri Koordinator Kemaritiman itu justru menganggap rencana Pulau Reklamasi banyak mudarat. Omong kosong dengan penanggulan banjir. Rizal menemukan ekosistem laut jadi rusak. Nelayan jadi sulit menangkap ikan.
Rizal bahkan berani berseberangan dengan koleganya sesama menteri. Ahok yang notabene pegang komando reklamasi dikecam habis-habisan oleh Rizal. Ahok dianggapnya lebih mirip karyawan pengembang dibanding Gubernur DKI Jakarta.
Rizal pun ingin reklamasi berhenti dilakukan. Kondisi itu akan membuat seisi Jakarta benar-benar merugi. Ia bahkan mengambil risiko untuk melakukan moratorium reklamasi pada April 2016. Keputusan itu mendapatkan dukungan rakyat luas. Segala macam aktivitas pembangunan pulau berhenti sejenak.
VOIR éGALEMENT:
Masalahnya moratorium yang dilakukan Rizal tak bertahan lama. Sebab, Rizal justru lengser dari kursi Menko Maritim pada 27 Juli 2015. Ia kemudian digantikan oleh tokoh politik lain Luhut Binsar Pandjaitan. Kondisi itu membuat proyek pulau reklamasi terus berlanjut. Sekalipun kemudian dihentikan kala Anies Baswedan jadi Gubernur DKI Jakarta sedari 2017.
"Saya juga bingung kenapa dia (Basuki) ngotot. Ahok itu Gubernur DKI atau karyawan pengembang? Satu menteri saja sebenarnya sudah cukup untuk menghentikan. Menteri Lingkungan Hidup, misalnya. Nah, ini tiga menteri dan satu menko.”
“Karena berbahaya itulah, kami memutuskan untuk menghentikan seluruhnya. Itu juga karena termasuk kategori pelanggaran berat. Kalau terjadi sesuatu yang membahayakan, siapa yang akan disalahkan nanti? Pemerintah pusat juga kan. Kami enggak mau ya begitu karena itu sangat membahayakan," ujar Rizal sebagaimana dikutip laman Kompas.com, 19 Juli 2016.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)