JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengritisi beberapa pasal dalam Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang saat ini dibahas oleh DPR.
Perwakilan PP Muhammadiyah, Syahrial Suwandi mengatakan, Muhammadiyah sejatinya mencoba menyikapi secara positif apa yang telah disiapkan oleh pemerintah yakni memberikan konsesi tambang kepada ormas.
Meski demikian ia mengakui, terdapat banyak pasal yang dipertanyakan oleh Muhammadiyah.
Pertama, terkait Pasal 17A ayat 2 yang menyatakan Pemerintah Pusat dan Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Sebagai salah satu pelaku usaha pertambangan, Syahrial mengaku hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
"Kami melihat begini, konflik antara perundang-undangan sering terjadi terutama tambang dengan kehutanan, dengan lingkungan, pertanian, tata ruang. Saya melihat perlu ada sinkronisasi di antara UU terkait pertambangan ini," ujarnya dalam Rapat Pleno dengan Badan Legislasi DPR, Rabu, 22 Januari.
Dia melanjutkan, badan usaha milik ormas juga perlu diberi pengertian yang jelas terkait arti tambang rakyat.
Syahrial mengaku, temuan di lapangan sering kali ada kekeliruan antara tambang rakyat dan tambang yang mengatasnamakan rakyat
"Kita sulit membedakan tambang rakyat dengan tambang yang mengatasnamakan rakyat yang sebetulnya ilegal," lanjut dia.
Selanjutnya, Syahrial juga mengkritisi Pasal 51A ayat 2 butir B draf RUU Minerba yang memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi dengan minimal memiliki akreditasi B.
Dia menilai, tidak semua perguruan tinggi memiliki Program Studi pertambangan dan Geologi.
"Kalaupun punya prodi pertambangan dan geologi, tidak semuanya punya akreditasi terbaik," sambung Syahrial.
Kemudian Pasal 51B draf RUU Minerba yang dinilai akan memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada badan usaha swasta di Indonesia.
Menurut dia, WIUPK tersebut sebaiknya diserahkan kepada perusahaan pelat merah.
"Kenapa demikian? Diserahkan kepada swasta apalagi PMA juga utang juga jatuhnya ke bank nantinya. Saya pikir ini pemikiran kami," katanya.
Ia melanjutkan, pasal berikutnya adalah Pasal 169A ayat 5 draf RUU Minerba trkait pemegang IUP sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian untuk komoditas tambang batu bara yang telah melaksanakan kewajiban pertambangan diberi perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan.
"Ini menurut kami perlu kita coba lihat apakah seumur tambang habis itu atau seumur dari kontrak atau perjanjian yang diberikan oleh pemerintah. Karena kalau kami lihat disini tidak ada batasan sampai kapan dia, yang penting dia mengajukan perpanjangan sejauh mana evaluasi sama-sama kita pahami. Jadi kalau menurut kami ini perlu ada pembatasan di situ," tutur Syahrial.
VOIR éGALEMENT:
Terakhir, ia juga meminta kajian lebih lanjut terkait Pasal 133D draf RUU Minerba perihal tumpang tindihnya UU yang berlaku sebelumnya terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut dan dikembalikan pada negara.
"Karena kegiatan masalah tumpang tindih begini itu menjadi masalah yang cukup lama sampai sekarang belum ada penyelesaian terbaiknya," tandas Syahrial.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)