Wahai Pemerintah, Perguruan Tinggi Tidak Didesain untuk Mengelola Tambang!

Wahai Pemerintah, Perguruan Tinggi Tidak Didesain untuk Mengelola Tambang!
Foto Karya Ilham VOI

JAKARTA – Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba DPR mengesahkan usulan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) pada Kamis 23 Januari 2025. Padahal, usulan tersebut hanya digodog Badan Legislasi (Baleg) DPR selama satu hari tepatnya, pada Selasa 21 Januari 2025.

Usulan revisi UU Minerba ini memantik reaksi keras karena setelah ormas keagamaan, kini giliran perguruan tinggi dan UMKM/Koperasi yang bisa mendapatkan izin pengelolaan usaha pertambangan. Ketua Baleg DPR, Bob Hasan mengakui, melalui revisi ini pemerintah akan memberikan kesempatan kepada UMKM, perguruan tinggi serta koperasi sebagaimana sebelumnya diberikan kepada badan usaha negeri maupun swasta.

Sebelumnya dalam perubahan ketiga UU Nomor 4 Tahun 2009, yakni UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, pasal 75 ayat 3 mengatur tentang prioritas penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sedangkan, jika menilik pada draft usulan revisi UU Minerba yang diinisiasi oleh Baleg, spektrum prioritas bagi lembaga pengelola tambang bertambah lebar.

Seperti yang tertulis dalam usulan revisi UU Minerba pasal 75 ayat 2, IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha kecil dan menengah, badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan, badan usaha milik perguruan tinggi, atau Badan Usaha swasta.

Adapun, usulan perubahan pada pasal 75 ayat 3 tertulis, BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha kecil dan menengah, badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan badan usaha milik perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

Pengamat pertambangan, Ferdy Hasiman menyebut Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) lebih pantas disebut penambahan dibandingkan merevisi UU. Sebab, perubahan hingga penambahan pasal dalam UU Minerba lebih difokuskan pada perluasan target penerima Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain itu, UU Minerba yang saat ini masih berlaku yaitu UU No 3 Tahun 2020 yang mengubah UU sebelumnya, Nomor 4 Tahun 2009 baru direvisi dan berusia empat tahun.

“Undang-undang ini kan baru direvisi di tahun 2020, baru 4 tahun umurnya. Dan nggak ada situasi yang genting sebagai alasan UU ini harus direvisi. Menurut saya bukan direvisi tapi ditambah. Di pasal-pasal banyak menambahkan IUP diserahkan ke UMKM, ke ormas, perguruan tinggi hingga koperasi,” ujarnya.

Ilustrasi pengolahan tambang (ANTARA)
Ilustrasi pengolahan tambang (ANTARA)

 

“Nggak ada urgensi secara ekonomi, secara industrial, atau untuk nilai tambah industri apapun, nggak ada. Yang ada adalah bagi-bagi IUP saja,” sambungnya.

Sekum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mempertanyakan prinsip keadilan dalam revisi UU Minerba. Dia mengungkapkan, pihaknya tidak menolak rencana pemberian lahan tambang terhadap ormas keagamaan, perguruan tinggi hingga UMKM. Tapi, proses pemberian izin tersebut harus melalui mekanisme yang benar, seperti lelang terbuka.

Karena itu, pihaknya menolak revisi UU Minerba yang diinisiasi Baleg mengingat pemberian izin diberikan melalui skala prioritas terhadap golongan tertentu. “Kita menolak prioritasnya. Jelas, misalnya dalam luasan (tambang) 100 (hektare) harus punya kemampuan sekian-sekian, jumlah alat berat harus sekian-sekian,” tuturnya.

Rektor Universitas Sriwijaya, Taufik Marwa menyatakan, perguruan tinggi harus melihat berbagai aspek dan dan kemampuan mengelolanya, tidak bisa serta merta menentukan setuju tidaknya dengan potensi pengolahan tambang untuk perguruan tinggi tersebut.

“Kita (Unsri) akan mempelajari seluruh aspek kebijakan ini. Core bisnisnya perguruan tinggi adalah akademik. Apakah terima atau tidak, akan dipelajari dulu. Yang pasti, secara menyeluruh tidak serta merta ini dilihat sebuah peluang, akan dipelajari secara menyeluruh revisi UU Minerba tersebut,” terangnya.

Dia menjelaskan, ada persyaratan khusus yang harus diberlakukan bagi perguruan tinggi yang akan mendapatkan IUP tersebut. Seperti mempunyai Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten, fasilitas yang mendukung serta mempunyai program studi (prodi) Ilmu Pertambangan.

Selain itu, kampus tersebut harus terdaftar sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), yang bisa mengelola aspek akademik dan non-akademik, yang sudah diberi kewenangan oleh pemerintah. Saat ini ada 23 kampus di Indonesia yang sudah berstatus PTNBH.

Dia yakin, kampus yang mempunyai SDM dan fasilitas yang mendukung, tak akan mungkin membiarkan terjadinya kerusakan lingkungan saat mengelola usaha pertambangan. Karena ada akademisi yang paham tentang konsep pelestarian lingkungan dan bisa mengkampayekan menjaga lingkungan. Salah satu caranya, yakni dengan tidak mengeksploitasi kawasan tambang secara menyeluruh, karena ada kawasan yang harus dilestarikan atau dilakukan penghijauan.

Taufik menegaskan, pengelolaan SDA jika dipegang oleh perguruan tinggi, tidak semata-mata core bisnisnya menghitung untung rugi, tapi juga masih menjalankan idealis akademis dan memikirkan kesejahteraan masyarakat. “Lain halnya perusahaan swasta yang diberikan. Core bisnis mereka mengambil keuntungan, jadi mengeruk SDA, hitungannya adalah untung rugi dengan eksploitasi SDA. Jika di perguruan tinggi, itu bisa dihindarkan, karena ada aspek lain, bisa juga lokasi tambang itu jadi tempat praktek mahasiswa pertambangan. Tidak akan mengejar keuntungan dan eksploitasi SDA yang berlebihan,” imbuhnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan hingga perguruan tinggi cukup mengkhawatirkan karena mereka kurang memiliki kompetensi untuk mengelola tambang. “Khawatir nanti akan menjadi semacam broker saja, baik ormas keagamaan maupun kampus. Jadi nanti yang mengelola tambangnya bukan kampus, mereka hanya dapat IUP [izin usaha pertambangan], tapi pengelolanya tetap diberikan kepada swasta. Jadi tidak ada bedanya dari sisi tata kelola tambang yang baik,” ungkapnya.

Menurut dia, pemberian izin tambang secara prioritas kepada ormas keagamaan hingga kampus melanggar azas persaingan usaha. Sebab, WIUP yang diberikan secara prioritas tak dibenarkan karena semua harus berdasarkan lelang. Oleh karena itu, Bhima menduga pembahasan revisi UU Minerba secara kilat oleh Baleg DPR berkaitan dengan kekhawatiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 yang mengatur pemberian izin tambang untuk ormas dibatalkan oleh MK.

Selain itu, pertambangan bukan domain bisnis ormas keagamaan maupun perguruan tinggi. Apalagi, perguruan tinggi seharusnya lebih fokus kepada pendidikan saja. Di sisi lain, pengelolaan tambang juga membutuhkan dana yang besar. Bhima pun menilai hal ini menjadi kontradiktif. Pasalnya, perguruan tinggi saat ini telah kesulitan keuangan. Hal ini terlihat dari sejumlah perguruan tinggi yang mulai menaikkan uang kuliah tunggal (UKT). “Jadi kampus yang keuangannya sedang berdarah-darah, tapi kok malah disuruh masuk ke tambang. Ini jelas keliru dan blunder sekali, ini bisa memperburuk keuangan kampus atau perguruan tinggi,” tambah Bhima.

Mencederai Misi Perguruan Tinggi

Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi menilai ormas keagamaan dan perguruan tinggi tak memiliki kompetensi dalam mengelola tambang. Pasalnya, ormas keagamaan dan perguruan tinggi tak memiliki pengalaman cukup untuk menjadi pengusaha pertambangan. Dia menerangkan, usaha pertambangan, dari input hingga output, memberikan dampak buruk pada lingkungan. Sebab, batu bara merupakan energi kotor. Dengan kata lain, jika ormas dan perguruan tinggi masuk ke dunia tambang, mereka ikut berkontribusi dalam merusak lingkungan.

Di sisi lain, marak juga pertambangan ilegal yang saling terkait. Fahmy menyebut hal itu malah bertentangan dengan tujuan dari ormas keagamaan dan perguruan tinggi. “Nah, ini kan akan mencederai ormas keagamaan dan juga perguruan tinggi yang sesungguhnya misinya kan suci dalam pendidikan,” imbuhnya.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil sepakat rencana pemberian konsensi tambang kepada perguruan tinggi berbau “amis”. Dia menduga DPR dan pemerintah sedang berupaya memanfaatkan perguruan tinggi untuk melegitimasi aktivitas tambang yang merusak lingkungan.

Pemberian konsensi, merupakan bentuk pelecehan terhadap institusi perguruan tinggi yang seharusnya berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban aktivitas tambang. Pemerintah juga terkesan seolah berupaya melepas tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan para akademikus dengan "menghadiahkan" izin kelola WIUP kepada kampus.

“Ketidakbecusan negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan para akademikus hendak diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang,” tukasnya.

Jamil mengatakan, revisi UU Minerba ini tidak bisa hanya dimaknai sebagai langkah mengeksekusi tiga putusan MK semata, yakni putusan tersebut yaitu putusan nomor 59/PUU-XVIII/2020, 60/PUU-XVII/2020 (pengujian formil), dan putusan nomor 64/PUU-XVIII/2020 (pengujian materiil). Sebab, revisi UU Minerba justru terkesan sebagai bentuk siasat anggota DPR untuk mencari peluang bancakan kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis dan legal. “Pembancakan kekayaan alam itu tak terlepas dari latar belakang dan kepentingan elite politik istana dan parlemen yang mayoritas di antaranya datang dari latar belakang pebisnis,” imbuhnya.

Keterangan Foto: Ilustrasi aktivitas pertambangan. (Ist)
Keterangan Foto: Ilustrasi aktivitas pertambangan. (Ist)

 

Terlebih, lanjut Jamil, berdasarkan penelusuran ICW, terdapat 354 anggota DPR periode 2024–2029 yang berlatar belakang pengusaha. Adapun di Kabinet Merah Putih, dari 48 menteri, sebanyak 34 berlatar belakang pebisnis. Sebanyak 15 di antaranya punya bisnis ekstraktif, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara.

Adapun Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana mengatakan, revisi UU Minerba terkait izin usaha pertambangan untuk perguruan tinggi akan menjadi masalah serius ketika berhadapan dengan konflik kepentingan, yakni mencari keuntungan dan riset atau pengembangan keilmuan.

Hal tersebut, menjadi anomali dan pimpinan perguruan tinggi akan menghadapi tantangan berat ketika berhadapan dengan konflik kepentingan, yakni pimpinan kampus nantinya tidak bisa membedakan inti dari perguruan tinggi, apakah untuk mencari keuntungan atau untuk melakukan riset. “Bentuk lainnya adalah konflik internal di antara civitas kampus yang terhubung dengan kekuasaan,” ungkapnya.

“Ini bukan hanya sekadar memberikan program yang populis bagi kelompok-kelompok seperti kampus atau kelompok-kelompok nonprofit lain, tapi jauh lebih daripada itu adalah tata kelola dari pengelola pertambangan itu betul-betul harus dipertimbangkan dengan baik,” sambung Satria.

Dia menekankan pentingnya memahami masalah konfilk kepentingan, karena juga tidak ada regulasi yang sinkron. Misal dalam konteks kampus, perlu melihat sejauh mana korelasi antara good university governance dan wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Satria menegaskan, perguruan tinggi sejak awal memang tidak didesain untuk mengelola tambang. “Sebelum implementasinya, bagaimana harmonisasi regulasi, perizinan dan sebagainya. Khawatirnya, bendera kampus, dalam tanda petik, ini hanya digunakan oleh broker, di dalam izin pengelolaan pertambangan,” katanya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar menambahkan, menilai revisi UU Minerba yang saat dikebut DPR tidak urgen serta tidak tepat secara formil maupun materil. Apalagi, revisi UU Minerba tidak masuk dalam Prolegnas 2025.

“Jadi, tidak ada dasar pembahasan RUU ini. Jika menggunakan alasan kumulatif terbuka karena adanya putusan MK juga tidak tepat karena judicial review (uji materi) UU Minerba pada Desember 2024 lalu itu ditolak. Jadi, tidak ada alasan mendesak untuk revisi UU Minerba,” tuturnya.

Bisman juga sepakat bila pemberian izin konsensi tambang kepada perguruan tinggi tidak tepat. “Kecuali untuk riset atau sekadar pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Mencampuradukan pendidikan dengan bisnis tambang jelas tidak baik bagi perguruan tinggi maupun tata kelola tambang,” tukasnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)